Call Center.pngStop Illegal.png

Lokasi

Taman Wisata Alam (TWA) Ruteng secara administratif berada di Kabupaten Manggarai dan Manggarai Timur Propinsi Nusa Tenggara Timur.Secara geografis berada pada koordinat antara 8°30’ - 8°42’ LS dan 120°15’ - 120°50’ BT.  Memiliki luas 32.245,6 hektar, membujur dari arah timur ke barat yang berjarak sekitar 15 km dari pantai selatan dan 35 km dari pantai utara. Batas administratif TWA Ruteng adalah:

a)      Sebelah timur: Desa Haju Ngendong, Desa Golo Munde, Desa Sangan Kalo, Desa Teno Mese dan Desa Sipi

b)      Sebelah selatan: Desa Golo Rutuk, Desa Golo Lalong, Desa Golo Meni, Desa Benteng Riwu, Desa Gunung Liwut dan Desa Golo Meleng

c)      Sebelah Barat: Desa Japang, Desa Pongkor, Desa Wewo, Desa Moco dan Desa Cumbi.

d)      Sebelah Utara: Desa Poco Lia, Desa Pocong, Desa Ulu Wae, Desa Ngkiong Dora, Desa Ranamese, Desa Gompang Congkar

 

Sejarah Kawasan

Kawasan hutan Ruteng pada awalnya merupakan hutan lindung seluas 17.857,60 hektar dan hutan produksi seluas 14,388 hektar.Kedua fungsi hutan tersebut selanjutnya berubah fungsi menjadi Taman Wisata Alam Ruteng.  Perubahan fungsi tersebut ditetapkan dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 456/Kpts-II/1993 tanggal 24 Agustus 1994. Luas kawasan selanjutnya menjadi 32.248,60 hektar.

 

Aksesibilitas

Aksesibitas untuk menuju kawasan TWA Ruteng dapat dicapai dengan menggunakan jalur udara dan laut.

a.       Jalur udara dapat ditempuh melalui :

-     Kupang – Ruteng dengan menggunakan peswat Foker 50 (sekitar satu jam) setiap hari,dilanjutkan dengan jalur darat Ruteng ke lokasi TWA  Ruteng;

-     Pada saat musim hujan rute peswat melalui : Kupang – Labuan bajo dengan foker 50 dan ATR (sekitar 1 jam 20 menit) dilanjutkan dengan jalur darat Labuan Bajo – Ruteng (sekitar 4 jam) dilanjutkan ke lokasi TWA Ruteng;

-     Kupang –Soa dengan foker 50 maupun ATR (sekitar 55 menit) dilanjutkan dengan jalan darat Bajawa – Ruteng (sekitar 3 jam).

-     Kupang – Ende dengan foker 50, ATR maupun Boeing 9sekitar 50 menit) dilanjutkan jalan darat Ende – Ruteng (sekitar 6 jam).

b.       Jalur laut dapat ditempuh dengan pilihan rute sebagai berikut:

-     Kupang–Ende dengan kapal motor Ferry (sekitar 18 jam) seminggu sesekali sedangkan kapal PELNI 2 minggu sekali, dilanjutkan dengan perjalanan darat Ende – Ruteng (sekitar 6 jam).

-     Kupang – Aimere dengan kapal ferry (sekitar 24 jam) seminggu sekali dilanjutkan jalan darat Aimere – Ruteng (sekitar 2 jam)

 

Iklim

TWA Ruteng dan sekitarnya termasuk dalam tipe iklim B atau tergolong dalam iklim basah menurut klasifikasi schmit dan ferguson.  Curah hujan rata-rata 3.339,8 mm/tahun dengan hari hujan sebanyak 174.  Bulan kering  selama 3 bulan dengan curah hujan kurang dari 100 mm/bulan dan bulan basah selama 9 bulan dengan curah hujan diatas 100 mm/bulan.  Bulan-bulan basah yaitu bulan September sampai dengan Mei dan bulan kering dari Juni sampai dengan Agustus.  Suhu rata-rata minimum 18,4°C pada bulan Juli dan tertinggi 20,9°C pada bulan Desember.Data mengenai curah hujan, hari hujan dan suhu harian di wilayah Ruteng dan sekitarnya selengkapnya seperti disajikan pada Tabel di bawah ini.

Tabel 1 Rata-rata curah hujan, hari hujan dan suhu harian di wilayah Ruteng

Bulan

Curah Hujan

(mm)

Hari Hujan

(hari/bulan)

Suhu Harian

(°C)

Januari

460,6

21

20,3

Februari

460,6

21

20

Maret

450,8

21

20,1

April

394,5

20

20,2

Mei

132,8

10

19,6

Juni

78,8

6

19,1

Juli

46,8

4

18,4

Agustus

59,8

4

18,6

September

101

7

19,8

Oktober

262,9

14

21,2

Nopember

468,7

22

21,2

Desember

422,6

22

20,9

Jumlah Total

3.339,8

174

20

Sumber: BMG Kabupaten Manggarai, 2013

 

Jenis Tanah, Batuan dan Topografi

Tanah di kawasan TWA Ruteng merupakan tanah vulkanik yang tergolong subur dan dapat diklasifikasikan dalam 4 (empat) golongan, yaitu:

a.      Andisol, pembentukannya mudah dijumpai di lereng atau pegunungan dan bukit yang dipengaruhi oleh aktivitas vulkanik.

b.      Entisol, merupakan tanah yang belum memperlihatkan perkembangan sehingga masih terlihat adanya bahan induk pembentukan tanah.

c.       Inseptisol, merupakan tanah yang sudah mengalami perkembangan tetapi tidak intensif sehingga tidak terlihat adanya bahan induk pembentukan tanah.

d.      Ultisol, merupakan tanah yang sudah mengalami perkembangan lanjut sebagai akibat dari agresivitas klimatik yang intensif sehingga mineral-mineral liat terakumulasi di lapisan bawah.

Jenis-jenis tanah tersebut diatas mempunyai  reaksi masam sampaisangat masam (pH 4 – 6,4) dengan kandungan bahan organik yang bervariasi mulai dari rendah sampai tinggi.  Dengan karakteristik tanah yang demikian menyebabkan ion-ion basa (Na, K, Ca, dan Mg) dalam tanah umumnya rendah. Kondisi yang sama dijumpai pada unsur hara utama (N, P dan K) yang berguna bagi pertumbuhan tanaman.  Secara fisik tanah tersebut umumnya mempunyai kelas butir dari sedang sampai halus (tekstur lempung – liat) di lapisan atas dan agak halus di permukaan bawah (tekstur lempung halus – liat).

Kawasan TWA Ruteng merupakan daerah jajaran pegunungan yang dikenal sebagai pegunungan Ruteng.  Terdiri dari tujuh puncak gunung, yaitu: Ranamese dengan ketinggian 1.790 m dpl, Poco Nembu 2.030 m dpl, Poco Mandosawu 2.350 m dpl, Poco Ranaka 2.140 m dpl, Poco Leda 1.990 m dpl, Ponte Nao 1.920 m dpl, Golocurunumbeng 1.800 m dpl. Sebagian besar kawasan TWA Ruteng merupakan daerah dengan ketinggian di atas 1.000 m dpl dengan keadaan topografi bergelombang, terjal dan tidak rata, dan memiliki kecuraman lebih dari 40%.

 

Hidrologi

Kawasan TWA Ruteng menjadi daerah pusat aliran sungai yang mengalir di Kabupaten Manggarai. Sungai-sungai besar yang berhulu di kawasan dan mengalir ke utara adalah nanga Reo, Nanga Bena dan nanga Were; sedangkan yang mengalir ke selatan adalah Wae Mese dan Nanga Moke. Kecepatan air di sela-sela batu – batuan cukup cepat dan mudah mengikis batuan sehingga menjadikan tepian sungai terjal dan permukaan air tanah sangat dalam, hampir setara dengan rata-rata permukaan air sungai. Wilayah yang menjadi daerah tangkapan hujan pada umumnya menempati daerah-daerah yang mempunyai elevasi tinggi dan berasosiasi dengan hutan primer, hutan sekunder dan kebun campuran. Pada umumnya mata air ditemui di daerah tekuk lereng (Ruteng dan Uluwae). Satuan geohidrologi yang ditemukan di daerah Ruteng dan sekitarnya adalah:

1.     Satuan Kolovial di sekitar desa Uluwae;

2.     Satuan sedimen kwarter, di sepanjang jalan kearah Iteng;

3.     Satuan vulkanik muda, di daerah Wao Teko dan wae Moa;

4.     Satuan vulkanik tua, di daerah Ponggeok dan Wae Mokel;

5.     Satuan vulkanik tertier, di daerah Satar Nawang dan sepanjang jalan ke Lengko Elar; dan satuan sedimen tertier.

 

Potensi Flora

Suatu kegiatan koleksi tumbuhan dari daerah pegunungan Ruteng kabupaten Manggarai selama 25 tahun (1967-1992) telah didokumentasikan oleh Verheijen (1982,1984). Semua specimen telah dibuat catalog dan disimpan di Museum Leiden, Negeri Belanda. Terdapat 252 jenis tumbuhan tinggi dan tumbuhan rendah yang tercakup dalam 119 marga dan 94 suku. Suku tumbuhan yang paling banyak jumlah jenisnya adalah Euphorbiaceae dan Lauraceae.

Tipe hutan yang utama di dalam kawasan ialah hutan campuran sub-tropik (hutan basah dan hutan musiman) yang kaya akan jenis-jenis tumbuhan dan satwa. Ketinggian puncak bervariasi mulai dari 500 m sampai deng 2350 m di puncak Poco Mandasewu. Berbagai macam vegetasi yang tumbuh di kawasan telah membentuk tipe-tipe hutan yang dapat dibagi marenjadi empat kelompok besar, yaitu :

a)      Hutan Sekunder;

b)      Hutan alam dataran rendah;

c)       Hutan alam sub-pegunungan; dan

d)      Hutan alam pegunungan.

Hutan sekunder merupakan kawasan bekas perladangan penduduk yang dihutankan dengan penanaman pohon ampupu (Eucalyptus urophylla). Di samping itu dijumpai pula jenis-jenis tanaman budidaya seperti jeunjing dan kaliandra. Hutan sekunder yang banyak terdapat dipinggir kawasan yang juga merupakan daerah penyangga dapat dimanfaatkan untuk pengembangan sistem perhutanian.

Hutan alam dataran rendah umumnya didominasi oleh pohon nangka (Artocarpus elasticus) yang letaknya dikaki lereng selatan pegunungan. Tipe hutan seperti ini sangat terbatas baik luas maupun persebarannya. Hutan alam sub-pegunungan merupakan tipe hutan yang paling dominan di kawasan. Tipe hutan seperti ini terdapat dilereng-lereng gunung sampai ketinggian 1800 m dpl. Jenis-jenis vegetasi yang mendominasi tipe hutan ini antara lain Eugenia, Prunus, Elaecarpus dan jenis-jenis lainnya. Keunikan dari tipe hutan sub-pegunungan di kawasan ini adalah disusun oleh jenis-jenis dari family Fagaceae.

Tipe hutan lain yang terdapat di dalam kawasan yaitu hutan pegunungan dengan ketinggian antara 1900 dan 2100 m dpl. Jenis pohon yang mendominasi hutan ini adalah Podocarpus imbricatus dan Prunus arborea. Khusus untuk daerah Pocoranaka pohon-pohon dari jenis Podocarpus ini banyak dijumpai dengan diameter yang besar dan masih alami.

 

Potensi Fauna

Jenis-janis fauna yang ada cukup beragam, terutama jenis-jenis burung yang berbeda diantaranya termasuk ke dalam daftar binatang yang dilindungi. Jenis Fauna yang luas penyebarannya di kawasan adalah babi hutan. Termasuk dalam daftar binatang yang dilindungi dan terdapat di TWA Ruteng adalah:

a)      Alap-alap putih (Accipiter novaehollandiae);

b)      Elang Bondol (Haliastur Indus);

c)       Elang hitam (Spizatus cirrhatus);

d)      Elang Tikus (Elanus caeruleus);

e)      Alap-alap Menara (Falco moluccensis);

f)        Raja Udang Ekor Panjang (Tansiptera galatea);

g)      Kokak (Philemon buceraides);

h)      Sesap Madu (Nectarina jugularis).

Jenis mamalia besar yang terdapat di kawasan termasuk jenis mamalia Asia.Rusa timor tidak lagi ditemukan di dalam kawasan TWA Ruteng. Beberapa jenis mamalia besar yang perlu dicatat adalah:

a)      Monyet (Macaca fascicularis);

b)      Landak (Hystrix javanica);

c)       Babi hutan (Sus scrofa vitatus);

d)      Musang (Paradoxurus hermaphrodites).

Jenis-jenis yang endemik umumnya didominasi oleh jenis tikus dan kelelawar. Yang termasuk jenis baru bagi ilmu pengetahuan, yaitu tikus komodo (Komodomys) yang sebelumnya hanya ditemukan di Pulau Rinca. Jenis lainnya yang patut dicatat yaitu  :

a)      Tikus raksasa, betu (Papagomys armandvillei);

b)      Tikus Pocoranaka (Rattus hainaldi);

c)       Kelelawar Flores (Cynopterus nusatenggara).

Daftar jenis burung-burung di Kabupaten Manggarai  telah dibuat oleh beberapa pengamat burung, diantaranya Verheijen, Hartet (1897), Scmutz (1977), White and Bruce (1986). Di samping itu Universitas Cambridge, U.K. juga telah mengadakan pengamatan sistematis yang disponsori oleh Birdlife International pada tahun 1993. Paling sedikit terdapat 65 jenis burung yang tergolong ke dalam 35 suku. Beberapa jenis diantaranya yang menarik adalah :

a)      Burung Hantu kerdil (Otus alfredi) ;

b)      Gagak Flores (Corvus florensis);

c)       Engkiong (Pachycephala nudiluga);

d)      Belibis (Anas querquedula);

e)      Pecuk (Phalacrocorax melanoleucos);

f)        Kokak (Philemon buceroides).

Dari 60 species yang mempunyai daerah sebaran terbatas di Nusa Tenggara Timur 26 species diantaranya terdapat di Flores dan dari 26 species ini sejumlah 12 species telah diamati oleh tim dari Universitas Cambridge. Dari jumlah jenis burung yang tercatat secara keseluruhan untuk Flores, 35 jenis diamati di daerah Poco Ranaka.

Jenis-jenis reptilia yang telah dilaporkan umumnya terdiri dari genus ular dari family Colubridae dan Viperidae yang hanya memiliki satu species. Termasuk jenis ular berbisa yang terdapat di kawasan adalah ular hijau (Trimeresurus sp).ular senduk (Nayanaja) dan ular tanah (Vipera russelli). Jenis reptilia lainnya yaitu dari family Scincidae, Gekkonidae, dan Agamidae. Jenis-jenis amfibia yang telah berhasil ditemukan meliputi 13 jenis dan 10 diantaranya merupakan jenis-jenis baru di pulau Flores. Beberapa jenis yang perlu dicatat adalah: Cocophryne sp, Pedostides sp., Rhacophorus sp, Calluella sp. Jenis ikan di danau Ranamese umumnya didominasi oleh ikan-ikan bukan asli (eksotik) seperti ikan gurame (Oreochromis mossambica, O. nilotica), dan ikan mas (Cyprinus carpio). Jenis-jenis ini merupakan ikan-ikan yang dimakan oleh penduduk, sehingga banyak dipancing sambil berekreasi di danau.

 

Potensi Wisata Tanah Adat Lingko

Lingko merupakan sistem pembagian tanah adat yang unik di dunia. Bentuk dasarnya bulat dan dibagi-bagi menjadi beberapa bagian seperti potongan kue dengan luas antara 6 sampai 8 hektar. Dari kejauhan bentuk ini terlihat seperti sarang laba-laba raksasa. Obyek Lingko ini dapat dilihat baik dari udara ataupun dari jalan-jalan raya yang melewati lereng-lereng bukit.

 

Potensi Wisata Poco Ranaka dan Anak Ranaka

Poco Ranaka dengan ketinggian 2.140 m dpl. Merupakan puncak tertinggi ke dua di rantai pegunungan Ruteng. Pada awalnya bukan merupakan gunung api, tetapi pada tahun 1987 tiba-tiba gunung ini meletus. Terbentuk gunung berapi baru yang dinamakan Anak Ranaka serta merusak desa-desa di sekitarnya termasuk hutan yang terdapat di lereng-lereng. Stasion microwave yang berada di dekat gunung ini juga mengalami kerusakan, sehingga dipindahkan ke desa Pagal. Jalan menuju stasiun microwave masih bisa digunakan untuk wisatawan yang ingin melihat gunung berapi dari dekat.

Untuk menuju puncak Ranaka, wisatawan dapat menggunakan kendaraan umum melalui jalan raya Ruteng-Mano dan berhenti pada km 8. Hanya kendaraan dengan garden ganda yang bisa melalui jalan naik sampai bangunan bekas stasion microwave yang panjangnya 9 km. Dengan berjalan kaki jarak tersebut ditempuh dalam waktu 3 sampai 4 jam. Dari bekas stasion microwave masih perlu waktu 15 sampai 20 menit berjalan kaki melalui hutan alami menuju puncak gunung berapi yang masih aktif, Anak Ranaka. Lava hitam yang sudah mengeras dan sulfur kuning menyala dengan uap yang keluar dari kawah Anak Ranaka merupakan pemandangan yang sangat menakjubkan.

Wisatawan juga bisa menikmati pemandangan yang indah ke arah kota Ruteng sementara dalam perjalanan ke poco Ranaka. Baik tumbuhan maupun satwanya juga bervariasi. Jenis Tumbuhan yang umum adalah pohon Mpui (Syzigium sp), Pakis dan Rhododendron. Jenis satwa yang mudah dilihat dan nyaring suaranya adalah burung Engkiong (Pachycephala nudiluga nudigula).

 

Potensi Wisata Danau Ranamese

Luas danau sekitar 5 hektar dengan ketinggian 1200 m dpl. Danau ini dahulunya merupakan kawah, oleh karena itu pantainya curam, hanya dibagian utara dan barat yang mempunyai pantai landai. Selain sebagai sarana wisata, saat ini danau Ranamese dimanfaatkan oleh masyarakat untuk pemancingan ikan dan pengambilan selada air.

Jalan menuju danau Ranamese sudah tersedia dan merupakan jalan nasional yang menghubungkan Ruteng dan Borong. Letak danau tepat pada km 25 dari Ruteng. Keadaan hutan di sekitar danau relatif masih bagus kecuali pada bagian bekas kebun kopi. Banyak burung mengunjungi danau ini terutama pada sore hari. Jenis yang sering tampak dalam jumlah kelompok besar adalah belibis dan pecuk.

Potensi Wisata Golo Lusang

Golo Lusang adalah  daerah yang terletak di puncak bukut yang terletak di antara Gunung Poco Lika dan Watu Ndao. Bisa dicapai dengan kendaraan umum. Dari pinggir jalan yang melewati bukit ini dapat dilihat pantai selatan pulau Flores sampai pulau Sumba. Namun demukian, keadaan hutan pada beberapa tempat di pinggir jalan banyak yang telah rusak. Jenis-jenis burung dan kupu-kupu di sekitar hutan Golo Lusang terutama di dekat Wae Ces sangat bervariasi. Beberapa pengunjung baik wisatawan nusantara dan mancanegara sudah mulai mengunjungi kawasan hutan Golo Lusang.

 

Potensi Wisata Air Terjun Cunca Werak

Air terjun ini mungkin hanya menarik untuk wisatawan nusantara, tidak terlalu besar tetapi ainya sangat jernih dan banyak dihuni oleh udang air tawar. Keadaan hutan di sekitar sungai Wae Mantar yang membentuk air terjun kurang bagus, karena telah banyak ditebang dan ditumbuhi oleh tumbuhan hutan sekunder. Tempat ini juga bisa dicapai dengan kendaraan umum melalui jalan antara Ruteng dan Iteng.

Daerah wisata lereng gunung bagian selatan dari desa Wawo, Ulumbu – desa Lungar – desa Rondowing, Pupung – Air terjun Cunca Rede – desa Sonolokon, Ntaur – Sita. Perjalanan ke daerah lereng gunung ini memakan waktu 3 hari berjalan kaki melalui sumber air panas Ulumbu yang dipakai untuk pusat listrik tenaga panas bumi. Dari sumber air panas perjalanan dilanjutkan melalui desa-desa tradisional dan hutan alami, termasuk menikmati pemandangan air terjun. Desa-desa yang dilalui terletak di daerah penyangga. Pengembangan daerah ini sangat potensial untuk gabungan wisata alam dan budaya. Beberapa obyek yang bisa dinikmati wisatawan termasuk:

1.       Sumber air panas dan proses pembuatan minuman tradisional Moke (dari Ulumbu ke Lungar);

2.       Observasi burung sambil berjalan di dalam hutan, pertunjukan tarian tradisional Caci, dan proses pembuatan minuman tradisional Sopi;

3.       Air terjun Cunca Rede yang paling besar di Pulau Flores.

 

Potensi Wisata Gua Watu Niki

Letaknya di kawasan penyangga dan dapat dicapai dengan kendaraan selama 3 jam dari Ruteng. Belum tersedia angkutan umum ke tempat ini. Gua ini mempunyai mulut terlebar yaitu sekitar 30 m. Dihuni oleh kelelawar dan burung walet.

 

Potensi Wisata Gua Liang Bua

Berjarak sekitar 13 km. Dari Ruteng dan dapat dicapai dengan perjalanan pulang pergi satu hari. Ada 3 Gua, yang paling besar adalah Liang Bua. Dua lainnya ialah, Liang Galung dan Liang Tana. Mulut Gua yang paling lebar sekitar 50 m. Di dalam gua ini juga tersimpan tulang belulang nenek moyang penduduk setempat yang telah meninggal.

 

Potensi Wisata Todo

Di tempat ini wisatawan bisa melihat rumah gendang tradisional dan tarian tradisional caci. Wisatawan juga dapat melihat proses pembuatan tenun tradisional berupa sarung yang dikerjakan oleh kaum wanita.

 

Potensi Wisata Ruteng Lama

Tempat ini merupakan satu-satunya yang sudah dikenal oleh wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Ruteng. Terdapat rumah gendang tradisional yang sudah tercantum dalam buku wisata turis asing.

 

Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya

TWA Ruteng berbatasan dengan langsung dengan desa - desa penyangga. Desa penyangga yang ada mempunyai karakteristik yang berbeda-beda terutama untuk adat istiadat. Secara adat budaya sejarah masyarakat Flores menunjukkan bahwa pulau ini dihuni oleh berbagai kelompok etnis. Masing-masing etnis menempati wilayah tertentu lengkap dengan pranata sosial budaya dan ideologi yang mengikat anggota masyarakatnya secara utuh (Barlow, 1989; Taum, 1997b). Masyarakat Manggarai (termasuk masyarakat Manggarai Barat) merupakan bagian dari enam kelompok etnis di Pulau Flores seperti diuraikan di atas. Manggarai adalah bagian dari Manggarai-Riung. Dalam masyarakat tradisional Manggarai termasuk Manggarai Barat terdiri dari 38 kedaluan (hameente), yakni: Ruteng, Rahong, Ndoso, Kolang, Lelak, Wotong, Todo, Pongkir, Pocoleok, Sita, Torokgolo, Ronggakoe, Kepo, Manus, Rimu, Welak, Pacar, Reho, Bari, Pasat, Nggalak, Ruis, Reo, Cibal, Lambaleda, Congkar, Biting, Pota, Rembong, Rajong, Ngoo, Mburak, Kempo, Boleng, Matawae, Lo'o dan Bajo.

 

Sistem Adat

Sistem organisasi adat yang ada diskeitar kawasan ini adalah Gendang. Gendang adalah menjaga dan memelihara kesinambungan keberadaan keturunan gendang, menata ketertiban sosial bagi kehidupan warga gendang, dan memasukkan kehidupan bersama warga gendang.Keadaan dewasa ini telah menunjukkan apa yang dinamakan dengan gendang atau lembaga hukum adat yang disebut dengan gendang’n onen lingko’n pe’ang. Struktur organisasi ini menentukan sistem peradatan dan secara hukum ditaati oleh masyarakat adatanya. Berikut ini susunan adat dalam manggarai:

a)     Tu’a gendang adalah sekelompok orang yang merupakan pendiri gendang dan keturunannya. Sehingga mereka menguasai Beo (kampung) secara keseluruhan yaitu gendang’n onen lingko’n pe’ang. Keturunan pendiri gendang berhak untuk menjadi Tu’a Golo, Tu’a Teno, Ata lami gendang (keluarga yang menempati rumah niang atau rumah gendang dan menjaga serta memelihara) dan Pelaksana ritus gendang yang menentukan penti (syukuran), oli (upacara musim tanam), wasa (mohon penyuburan), dan paki kaba (persembahan).

b)     Tu’a Golo Adalah Tu’a yang menguasai golo (kampung)
Pa’ang’n olon, ngaung’n musi (segenap wilayah milik gendang yang bertugas memimpin rakyat gendang, mengontrol dan menertibkan pelaksanaan adat istiadat sebagai pedoman hidup seluruh warga gendang dan memberi sanksi bagi yang melanggar tata tertib gendang. Yang mengangkat Tu’a Golo adalah Tu’a Gendang. Dia yang diangkat karena turunan pendiri gendang, mempunyai gesah sebagai pemimpin, taat kepada aturan adat istiadat dan tidak banyak cacat cela dalam hal moral. Tugas Tu’a Golo adalah sebagai pemimpin rakyat gendang dalam hal urusan harian seperti ketertiban warga gendang, menjaga keamanan warga dan kebun warga. Dan persyaratan menjadi Tu’a Golo adalah orang yang bijaksana, mampu menyelesaikan masalah dalam wilayah gendang. Dalam musyawarah gendang, dia adalah pemimpin sidang, khusus di luar kekuasaan Tu’a Teno. Tetapi dia harus taat kepada kebijaksanaan Tu’a Gendang yang merupakan sesepuh-sesepuh agung gendang. Dan perlu diketahui bahwa kedudukan Tu’a Golo dan Tu’a Teno adalah sejajar.

c)     Tu’a Teno adalah orang yang berasal dari Tu’a gendang dengan tugas menentukan pembagian tanah yang menjadi hak milik gendang, mengamankan pelaksanaan pembagian tanah dan melaksanakan ritus pembagian. Sedang yang menentukan kepemilikan tanah adalah Tu’a Gendang.

d)     Tu’a Panga. Panga (bagian atau cabang) adalah sekelompok orang yang merupakan turunan Tu’a Gendang pada lapisan tertentu yang dipercayakan untuk mengurus diri berdasarkan kebijaksanaan Tu’a Gendang, Tu’a Golo dan Tu’a Teno.

e)     Tu’a Panga adalah pemimpin atau kepala panga. Panga terdiri dari beberapa Ame atau keluarga yang berasal dari satu nenek dalam suku tertentu.

f)      Tu’a Ame adalah keturunan Tu’a Gendang sesudah lapisan panga dan dipercayakan untuk mengurus diri. Ame terdiri dari beberapa kilo atau keluarga. Tu’a Ame adalah pemimpin keluarga.

g)     Tu’a Kilo adalah yang mengetahui atau menguasai suatu keluarga. Tu’a Kilo adalah pemimpin keluarga yang biasanya disandang oleh bapak.

h)     Tu’a Wa’u adalah yang mengepalai keturunan pendatang yang telah berkembang dalam gendang dan menerima pembagian tanah. Pada umumnya mereka memiliki hubungan dengan gendang karena faktor perkawinan. Walaupun mereka merupakan keturunan pendatang, namun tetap taat pada tata tertib dan peraturan gendang yang dihuni.

i)       Tu’a Wae Tu’a yaitu yang mengetahui atau menguasai suku yang tertua dari gendang tersebut. Biasa disebut dengan wae ka’e atau keturunan tertua.

j)      Tu’a Wae Koe yaitu yang mengetahui atau menguasai suku yang termuda dalam gendang. Biasa disebut dengan wae ase atau keturunan termuda.

 

Bahasa

Mengutip hasil penelitian Pastor P.J. Verheijen, SVD yang dilakukannya sebelum 1950 menyebutkan bahwa di Manggarai terdapat enam bahasa, yaitu bahasa Komodo di pulau Komodo, bahasa Werana di Manggarai Tenggara, bahasa Rembong di Rembong yang wilayahnya meluas ke Ngada Utara, bahasa Kempo di wilayah Kempo, bahasa Rajong di wilayah Rajong dan bahasa Manggarai Kuku yang termasuk atas lima kelompok dialeg, termasuk bahasa Manggarai Timur Jauh.Pengelompokkan bahasa tersebut sekaligus mengisyaratkan secara umum kelompok budaya di Manggarai yang erat kaitannya dengan corak kesatuan genealogis, sebab kesatuan genealogis yang lebih besar di Manggarai adalah Wa’u (klen patrilineal) dan perkawinan pun patrilokal. Dalam kesatuan genealogis inilah bahasa terpelihara baik secara turun temurun.

 

Kesenian

Di Manggarai juga tumbuh dan berkembang berbagai jenis kesenian khas daerah ini seperti seni sastra, musik, tari, lukis, disain dan kriya. Dari berbagai jenis kesenian itu, ada dua jenis yang sudah mencapai tingkat sebuah peradaban dan sudah dikenal luas, yakni seni pertunjukan caci dan seni rupa (kriya), songke. Caci sudah merupakan puncak kebudayaan Manggarai yang unik dan sarat makna: seni gerak (lomes), nilai etika (sopan santun), nilai estektika, muatan nilai persatuan, ekspresi suka cita, nilai sportifitas, serta penanaman percaya diri. Beberapa macam kesenian di Manggarai :

a)      Seni Musik (Alat-alat musi tradisional : sunding, gong, gendang, tambor, tinding).

b)      Seni Tenun (Tenun Songke Seni kriya songke sarat dengan nilai dan simbol. Warna dasar hitam pada songke melambangkan sebuah arti kebesaran dan keagungan orang Manggarai serta kepasrahan bahwa semua manusia akhirnya akan kembali pada Yang Maha Kuasa. Sedangkan aneka motif bunga pada kain songke mengandung banyak makna sesuai motif itu sendiri seperti motif wela kawong bermakna interdependensi antara manusia dengan alam sekitarnya. Motif ranggong (laba-laba) bersimbol kejujuran dan kerja keras. Motif ju’i (garis-garis batas) pertanda keberakhiran segala sesuatu, yaitu segala sesuatu ada akhirnya, ada batasnya. Motif ntala (bintang) terkait dengan harapan yang sering dikumandangkan dalam tudak, doa porong langkas haeng ntala, supaya senantiasa tinggi sampai bintang.Maksudnya, agar senantiasa sehat, umur panjang, dan memiliki ketinggian pengaruh lebih dari orang lain dalam hal membawa perubahan dalam hidup. Motif wela runu (bunga runu), yang melambangkan sikap atau ethos bahwa orang Manggarai bagaikan bunga kecil tapi memberikan keindahan dan hidup di tengah -tengah kefanaan ini.

c)       Adat Budaya Perkawinan Cangkang, yaitu perkawinan di luar suku atau perkawinan antar suku. Dalam bahasa adanya dikatakan laki pe’ang atau wai pe’ang (anak wanita yang kawin di luar suku). Orang yang laki pe’ang atau wai pe’ang membuka jalur hubungan baru dengan suku-suku lain. Dengan itu keluarga besar lebih lebar jangkauan hubungan woe nelu-nya. Dari praktek orang tua tempo dulu, orang yang laki pe’ang bukan sembarang orang. Biasanya dari kalangan keluarga yang mampu membayar belis atau paca. Karena paca itu sendiri bukan cuma soal uang atau hewan, tetapi terutama soal harga diri dan martabat dari kedua belah pihak, antara keluarga pria dan wanita.

d)      Adat Budaya Perkawinan Tungku, yaitu perkawinan untuk mempertahankan hubungan woe nelu, hubungan anak rona dengan anak wina yang sudah terbentuk akibat perkawinan cangkang. Laki-laiki dan wanita yang kawin tungku disebut saja laki one dan wai leleng one. Pemuda yang laki one dapat berarti pria yang kawin tungku, juga berarti perkawinan terjadi di dalam atau di sekitar kampung asalnya. Demikian pula terhadap wanita yang wai leleng one. Berbicara tentang paca untuk orang yang laki one dan wai leleng one tergantung pada jenis tungku. Menurut adat Manggarai ada beberapa jenis tungku :Tungku cu atau tungku dungka kawin antara anak laki-laki dari ibu kawin dengan anak perempuan dari saudara itu atau om, Tungku nereng nara, Tungku anak de due, Tungku canggot, Tungku ulu atau tungku sa’i, Tungku salang manga, Tungku dondot.

e)      Adat Budaya Perkawinan Cako, yaitu perkawinan dalam suku sendiri. Biasanya anak laki-laki dari keturunan adik dan anak perempuan dari keturunan kakak. Disebut juga sebagai perkawinan cako cama tau. Perkawinan cako biasanya orang tua mulai mencobanya pada lapisan ketiga atau lapisan keempat dalam daftar silsilah keluarga. Mengapa dikatakan mencoba? Karena menurut adat Manggarai, tidak semua perkawinan cako direstui mori agu ngaran. Orang Manggarai percaya bahwa Tuhan-lah yang menentukan apakan perkawinan itu direstui atau tidak. Ada bukti bahwa perkawinan cako tidak direstui, bahwa kedua insan yang menikah itu mati pada usia muda sebelum memperoleh anak. Perkawinan cako cama salang artinya perkawinan yang dilangsungkan dengan sesama anak wina. Dalam konteks ini belis tidak dituntut sesuai dengan kemampuan kita. Berlaku ungkapan tama beka salang agu beka weki. Arti anak wina dan anak rona dalam konteks sosial budaya Manggarai yang disebut anak rona berasal dari keturunan pria atau yang disebut ata one. Sedangkan anak wina berasal dari keturunan anak perempuan atau yang disebut ata pe’ang. Anak wina – anak rona muncul karena hubungan perkawinan, di mana pihak pria disebut anak wina dan pihak perempuan disebut anak rona.