Lokasi
Kawasan Suaka Margasatwa (SM) Egon Ile Medo secara geografis terletak pada posisi 1220 21” – 1220 26’ BT dan 80 39’ – 80 43’ LS. Kawasan Egon Ile Medo berada disekitar kawasan hutan lindung. Secara administrasi SM Egon Ile Medo berada di 3 (tiga) buah Kecamatan yaitu Kecamatan Mapitara, Kecamatan Doreng dan Kecamatan Waigete Kabupaten Sikka dengan batas-batas wilayahnya sebagai berikut:
Sebelah Utara : Hutan Lindung Egon, Desa Hoder dan Desa Egon
Sebelah Timur : Hutan Lindung Egon dan Desa Egon Gahar
Sebelah Selatan : Hutan Lindung Egon dan Desa Natakoli
Sebelah Barat : Desa Wolomotong, Desa Kloangpopot
Sejarah dan Dasar Hukum/Status Kawasan
Suaka Margasatwa (SM) Egon Ile Medo merupakan salah satu Kawasan Pelestarian Alam (KPA) yang ditunjuk melalui Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor: 423/Kpts-II/1999, tanggal 15 Juni 1999 seluas 1.401,52 Ha dengan dasar mandat pengelolaan bahwa kawasan ini merupakan perwakilan tipe ekosistem hutan pegunungan vulkanik yang memiliki potensi fauna dan flora yang memiliki tipe vegetasi yang baik. Pada tanggal 14 Mei 2014 luasan kawasan ini berubah menjadi 1.694,23 ha berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.3911/Menhut-VII/KUH/2014 tanggal 14 Mei 2014. Kawasan ini terkahir ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor:SK.3319/MenLHK-PKTL/KUH/PLA.2/7/2016 tanggal 13 Juli 2016 dengan luas 1.694,23 Ha tentang Penetapan Kawasan Hutan pada Kelompok Hutan Egon Ile Medo.
Potensi Flora
Jenis-jenis flora pada hutan primer didominasi oleh jenis Ampupu (Eucalyptus urophylla). Jenis-jenis flora pada hutan sekunder didominasi oleh jenis Aiwair (Litsea resinosa), Aranana (Planchonella obovata), Aimita (Polyalthia oblonga), Bale (Disoxylum microcarpus), Balebura (Turpinia montana), Blamita (Prunus grisea), Bla’at (Meliosma sp), Blewut (Scindapsus sp), Een (Lepisanthes amoena), Hen (Toona sureni), Kurok (Disoxylum brevipaniculatum), Lamita (Polyalthia pisocarpa), Lali (Celtis phillippinensis), Mara (Pometia pinnata), Mara Bura (Pometia pinnata), Sunga (Rauvolfia javanica), Sirih (Piper sp), Taur (Pisonia cauliflora), Ta’u (Anodendron paniculatum) dan Tolen (Disoxylum alliaceum).
Potensi Fauna
Jenis-jenis fauna diantaranya adalah Rusa Timor (Rusa timorensis), Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis), Babi hutan (Sus vitatus), Musang (Paradoxurus hermaproditus), Landak (Hystrik sp), Biawak Timor (Varanus timorensis) dan jenis-jenis burung sebanyak 17 spesies dari 11 famili yaitu Burung Raja udang (Alcedo euryzona), Cekakak Tunggir Putih (Caridonax fulgidus), Bubut Alang-alang (Centropus bengalensisi), Pergam (Ducula sp), Tekukur biasa (Streptopelia chinensis), Sigunting (Dicrurus densus), Bondol pancawana (Lonchura quinticolor), Pipit zebra (Taeniopygia guttatai), Kehicap ranting (Hypothymis azurea), Seriwang asia (Tersiphone paradise), Burung Gosong (Megapodius reintwardtii), Koakiu (Philemon inornatus), Burung kancilan flores (Pachycephala Nudigula), Burung kancilan emas (Pachycephala pectoralis), Nuri kecil (Loriculus flosculus), Burung hantu besar (Ninox scutulata), dan Burung hantu kecil (Otus sp).
Tipe Ekosistem
Suaka Margasatwa (SM) Egon Ile Medo merupakan bagian dari hutan tropika pegunungan bawah dengan dua tipe ekosistem yaitu tipe ekosistem hutan primer dan hutan sekunder. Hutan primer didominasi oleh jenis pohon Ampupu. Hutan primer dan sekunder cenderung basah dan lembab karena lokasi ini berada diantara hutan lindung.
Proses Ekologis
Pola penutupan vegetasi dan penggunaan lahan saat ini di wilayah DAS Tara,Rita, Walatar, Dagar, Magemoat dan Gete I meliputi hutan sekunder dan lahan terbuka. Hasil analisis citra landsat tahun 2014 menunjukkan bahwa penutupan lahan di wilayah DAS tersebut, didominasi oleh hutan yakni seluas 1.580,66 ha (92,82 %) dari total luas seluruh DAS, walaupun mutu penutupan lahan hutan tersebut telah mengalami kerusakan. Luas lahan yang kondisinya telah kritis di wilayah ini yakni seluas 113,57 ha (7,18 %).
Aksesibilitas Kawasan
Aksesibilitas menuju kawasan SM Egon Ile Medo sangat sulit karena lokasinya berada diantara hutan lindung. Akses menuju desa terakhir sebelum masuk kawasan cukup mudah. Untuk menuju kawasan dibutuhkan perjalanan menanjak selama 3 jam dari desa terakhir. Berikut ini rincian aksesibiltas menuju kawasan :
Jalur Udara:Rute penerbangan Denpasar - Maumere; Kupang - Maumere.
Jalur Laut :Jalur ini ditempuh dari Kupang - Maumere; Kapal Laut dari Surabaya – Denpasar - Maumere yang dilanjutkan dengan perjalanan darat.
Jalur Darat : Jalur ini ditempuh dari Maumere - Waegete sejauh 30 km jalan aspal dilanjutkan perjalanan melalui jalan desa sejauh 15 km.
Iklim
Suaka Margasatwa (SM) Egon Ile Medo terletak pada wilayah beriklim tropis yang terus menerus lembab karena pengaruh ketinggian dan curah hujan yang terjadi sepanjang tahun. Curah hujan rata-rata sebesar 117,0 dan 96,4 mm / tahun dan dengan jumlah hari hujan 97 dan 66 hari hujan. Intensitas curah hujan rendah.Suhu udara rata-rata maksimal tercatat antara 23 – 30 oC dengan suhu maksimal sebesar 31oC terjadi pada bulan September. Suaka Margasatwa Egon Ile Medo menurut perhitungan “Schmitd dan Ferguson” memiliki jenis tipe iklim D - E. Jenis iklim ini menunjukkan bahwa tingkat kelembaban sedang agak kering.
Tanah
Berdasarkan sistem lahan Repprot, lokasi areal konservasi litologinya (Andesit, basalt, breksi, tefrat berbutir halus, tefrat berbutir kasar), Humitropepts Dystropepts dan Humic kambisol Dystric Cambisol, dengan tekstur halus sampai Kasar. Dengan demikian tanah di Lokasi SM Egon IleMedotergolong jenis tanah yang agak peka terhadap erosi. Oleh karena itu teknik penyiapan lahan dan pengelolaan tanah perlu dilakukan secara terbatas dengan teknik manual. Tidak dianjurkan untuk membuat teras atau pengolahan tanah yang intensif dalam penyiapan dan pembukaan lahan. Tingkat kesuburan tanah, berdasarkan tanaman indikator di lokasi dapat digolongkan kedalam kesuburan sedang. Kondisi drainase tanah pada umumnya baik, namun kapasitas menyimpan air (water holding capacity) tergolong sedang hingga buruk.
Topografi
Suaka Margaatwa (SM) Egon Ile Medo berada di pegunungan vulkanik, ketinggiannya mencapai 1500 Mdpl. Kondisi topografi kawasan ini, berbukit-bukit dengan kemiringan 450 terjal dengan bebatuan. Kondisi topografi kawasan yang terjal dan mendaki menjadikan kawasan ini relatif aman karena berada diantara hutan lindung sehingga terbufer oleh hutan lindung disekelilingnya.
Sosial Budaya
Penduduk sekitar kawsan hutan Egon Ile Medo merupakan penduduk asli yang pertama kali membuka lahan untuk lahan pertanian. Suku yang pertama kali memilih lahan adalah Suku Soge Laka yang memilih lahan yang berbatasan dengan Hutan Egon Ile Medo. Suku-suku lainnya, yaitu Soge Buli, Deru, Bola, Lio, Mage dan Wodon. Bukti kedatangan suku-suku ini adalah batu-batu menhir yang tertata rapi yang berada di daerah kampung Lere Desa Egon Gahar. Batu Menhir yang paling tinggi menurut kepala Suku Soge Laka adalah batu yang mewakili sukunya. Saat ini yang menjadi kepala desa adalah dari Suku Lio. Struktur sosial masyarakat terbagi menjadi beberapa tingkatan. Tingkatan paling atas disebut sebagai Ine Gete Ama Gahar yang terdiri dari para raja dan bangsawan. Ciri kelompok masyarakat ini adalah memiliki warisan jabatan pada pemerintahan tradisional dan harta peninggalan dari nenek moyangnya. Tingkatan kedua adalah Ata Rinung yang berperan dalam memberikan bantuan pada para bangsawan dan menyampaikan aspirasi dari masyarakat tingkatan ketiga. Tingkatan ketiga adalah orang biasa atau orang kebanyakan yang disebut Mepu atau Maha.
Pola permukiman tradisional masyarakat Sikka menempati wilayah lembah dan perbukitan yang dipandang strategis untuk pengamanan kampung pada masa lampau yang memiliki altar persembahan yang dinamakan mahe pada rumah adat yang disebut woga tempat melaksanakan upacara adat dan keagamaan seperti tradisi sunat. Saat ini penduduk sudah membangun permukiman pada sepanjang jalan aspal dan pada permukiman modern tersebut terdapat sebuah bangunan gereja Katolik.
Penguasaan lahan pada suatu wilayah ditandai dengan adanya woga. Tiang utama rumah adat menggunakan kayu bei (Melia sp). Bei artinya tidak, sehingga penggunaan kayu dari pohon bei dimaksudkan agar apabila roh jahat yang ingin melakukan kejahatan datang maka tiang induk akan berkata bei ... bei ... bei artinya tidak ... tidak ... tidak. Pohon bei adalah pohon yang keras seperti pohon pelawan (Eucalyptus alba) yang juga digunakan untuk bahan pembuatan perahu kayu. Pohon ini dipanen untuk tiang rumah adat apabila berumur 25 – 30 tahun. Seratnya mirip kayu jati dan daunnya halus kecil.
Masyarakat mempercayai bahwa di wilayah gunung api Egon Ilemedo terdapat penguasa spiritual yang wujudnya menyerupai ular naga berkepala tujuh. Menurut Peter Son, kepal Suku Soge Laka, ular ini memiliki memiliki panjang badan yang sama panjang dengan deretan Gunung Egon. Mulutnya lebar seperti pintu gerbang yang sangat luas dan dapat dilewati orang yang menginginkan sesuatu yang datang kepada sang naga. Masyarakat biasa datang untuk meminta sesuatu dengan terlebih dahulu melakukan ritual adat. Hal-hal yang diminta adalah keperluan hidup, ilmu kekebalan, dll.
Tanah puan (kepala suku) yang terpilih merupakan hasil pemilihan dari antara anak-anak laki-laki tanah puan. Anak laki-laki pertama dan keluarganya yang berhak menempati rumah adat (igun). Rumah adat menggunakan kayu dari kebun. Pada pembagian lahan untuk pertanian, maka tanah puan yang terlebih dahulu menentukan tanah garapan lalu diikuti oleh anak-anak laki-laki dan saudara saudari, anak-anak, kakak adik dst.
Sistem pemerintahan suku dikepalai oleh kepala suku dan dibantu oleh tujuh orang pepimpin dibawah kepala suku, yaitu:
1. Liang Puan Waer Matan yang bertugas untuk menjaga supaya tidak ada pelanggaran hutan
2. Ua Uma Karetua yang bertugas untuk membuka kebun baru seperti pembukaan HKM supaya tidak terjadi kebakaran hutan.
3. Tepi Nggoi Rai Nggaat yang bertugas untuk menjaga supaya tidak ada masyarakat yang mengerjakan lahan pertanian di wilayah tebing dan jurang
4. Tuan Rumang Iling Nggon yang bertugas menjaga agar tidak ada penebangan pohon, mengambil hasil hutan pada hutan tua (hutan larangan)
5. Tuan Toin Roing Tadeng yang bertugas agar tidak ada masyarakat yang membuang hajat pada hutan kecil, namun saat ini tugas ini meluas menjadi petugas yang melarang untuk membakar dan menebang pohon di hutan kecil.
6. Wua Dua Dueng Mahe Moan Gara bertugas sebagai panglima perang untuk menjaga suku dari serangan musuh baik berupa serangan gaib maupun serangan fisik.
7. Laba Lepo Soro Woge bertugas dalam melakukan upacara adat untuk membuat rumah adat, perkawinan dan adat istiadat lainnya
Apabila melakukan penebangan pohon tanpa meminta ijin maka akan mendapatkan sanksi melakukan acara adat dengan membawa dua ekor babi. Satu ekor babi yang belum dikebiri, beras dan tuak yang ditaruh pada pohon-pohon yang sudah ditebang. Satu ekor babi lainnya disembelih untuk dimakan bersama-sama dengan para tetua adat dan masyarakat anggota suku Soge Laka. Masyarakat mengelompokkan hutan menjadi 3 jenis, yaitu:
- Opedun karedunan. Hutan ini menurut masyarakat merupakan hutan tua yang tidak boleh dimasuki sembarangan apalagi menebang pohon. Hutan ini telah memiliki pal batas dan masyarakat menamakan pal batas pada hutan ini dengan nama PAL 32 karena menurut mereka pal ini sudah ada sejak jaman Belanda pada tahun 1932. Kawasan hutan inilah yang kemudian ditetapkan oleh pemerintah sebagai Suaka Margasatwa Ego Ilemedo. Hutan ini dilindungi dengan sanksi adat oleh masyarakat setempat.
- Opedun karetaden. Hutan yang menurut masyarakat ada di dalam wilayah kebun mereka. Kawasan hutan ini juga telah memiliki pal batas dan masyarakat menamakannya PAL 84 karena menurut mereka penanaman pal batas ini sejak tahun 1984 pada masa pemerintahan Republik Indonesia.
- Tuan toin. Hutan yang ada di tebing-tebing yang curam. Keberadaan hutan ini menurut masyarakat dapat berada di hutan suaka margasatwa, hutan lindung maupun pada lahan milik masyarakat setempat. Hutan ini dilindungi oleh aturan adat dan memiliki sanksi yang tegas apabilan ada pelanggaran hutan.
Ekonomi
Kehidupan ekonomi masyarakat sekitar kawasan hutan cukup baik. Secara ekonomi masyrakat sudah dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Tingkat pendidikan dan pekerjaan masyarkat sudah cukup beragam meskipun dominasi mata pencaharian penduduk sekitar kawsan sebagai petani. Sarana prasarana penunjang perekonomian masyarakat sudah cukup baik dengan adanya beberapa kios, toko, koperasi dan pasar. Masyarakat sekitar kawasan SM Egon Ile Medo bertanam sayur dan tanaman palawija seperti jagung dan ubi. Sebagian masyarakatnya bertanam tanaman buah seperti mangga dan durian sebagai usaha tambahan untuk pemenuhan kebutuhan hidup.
Perekonomian masyarakat cukup baik dengan ditunjang sarana prasarana yang cukup baik seperti jalan yang mulai masuk sampai daerah-daerah terpencil meskipun hanya jalan pengerasan. Akses masyrakat menjual hasil bumi atau panen menjadi semakin mudah. Perputaran uang dan barang menjadi lebih intensif dengan keberadaan pasar yang ada di beberapa desa. Sarana kesehatan juga cukup memadai dengan adanya puskesmas pembantu dan posyandu setiap desa serta puskesmas setiap kecamatan. Secara ekonomi masyrakat tidak bergantung secara langsung terhadap keberadaan kawasan SM Egon Ile Medo, namun keberadaan SM Egon Ile Medo membantu penyimpanan air tanah yang digunakan untuk pengairan tanaman masyarakat sekitar.