Call Center.pngStop Illegal.png

 

Lokasi

Kawasan Cagar Alam Hutan Bakau (CA. HB) Maubesi secara geografis terletak pada posisi  124° 57' 5,692" - 125° 0' 38,904" BT dan  9° 30' 40,819" – 9° 35' 47,391" LS.  Cagar Alam Hutan Bakau Maubesi merupakan salah satu kawasan suaka alam yang dapat menggambarkan keterwakilan ekosistem hutan mangrove. Dapat dikatakan merupakan lahan basah yang terdapat di kawasan daratan Timor Barat Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur. Keterwakilan dapat dilihat dalam hal keanekaragaman jenis flora terutama mangrove, variasi tinggi, diameter mulai dari tingkat semai, perdu atau pepohonan pancang/ tegakan dan pohon.

Secara administrasi Cagar Alam Hutan Bakau Maubesi terletak di Kecamatan Kobalima dan Kecamatan Malaka Tengah, Kabupaten Malaka dengan batas-batas wilayahnya sebagai berikut :

Sebelah Utara          :        Desa Lakekun, Desa Desa Lakekun Utara dan Desa Litamali

Sebelah Timur          :        Laut Timor

Sebelah Selatan       :        Desa Railor Tahak dan Desa Kletek

Sebelah Barat           :        Desa Kletek, Desa Lakekun dan Desa Lakekun Barat

 

Sejarah dan Dasar Hukum Kawasan

Penunjukan Kawasan CA. Hutan Bakau Maubesi pertama kali berdasarkan surat Gubernur Nusa Tenggara Timur Nomor: 123.1/86/BKPH/K/80 tanggal 27 Desember 1980 kemudian ditindaklanjuti dengan Surat Direktur Jenderal Kehutanan Nomor: 1566/DJ/I/1981 tanggal 20 April 1981. Berdasarkan kedua surat tersebut, Menteri Pertanian yang pada saat itu dijabat oleh Prof. Ir. Soedarsono Hadisapoetro menunjuk kawasan hutan bakau maubesi seluas ± 1.830 hektar sebagai kawasan hutan dengan nama Cagar Alam Hutan Bakau Maubesi dengan Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 394/Kpts/Um/5/1981 tanggal 7 Mei 1981.

Pada tahun 1983, CA. Hutan Bakau Maubesi dilakukan penataan batas oleh Balai Planologi Kehutanan IV Nusa Tenggara dengan hasil berdasarkan Berita Acara Tata Batas tanggal 30 Mei 1982 seluas 3.246 hektar.

Sebagai akhir dari progres pengukuhan kawasan yaitu ditetapkannya suatu kawasan hutan, demikian halnya dengan CA. Hutan Bakau Maubesi telah ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri kehutanan Nomor: SK.687/MENHUT-II/2009 tanggal 16 Oktober 2009 dengan luasan 3.246 hektar.

Adapun pertimbangan dalam penunjukan dan pengukuhan kawasan CA. Hutan Bakau Maubesi yaitu:

·         Merupakan salah satu kawasan dengan ekosistem hutan bakau terluas dengan keragaman tinggi serta relatif masih asli yang ada di Pulau Timor;

·         Perlindungan terhadap habitat satwa liar seperti Buaya Muara, Raja Udang, Kuntul, Elang Laut dan sebagainya.

 

Potensi Flora

Mengingat CA. Hutan Bakau Maubesi merupakan kawasan dengan ekosistem mangrove, maka berdasarkan hasil inventarisasi flora yang dilakukan pada tahun 2003 hanya khusus dilakukan pada family mangrove. Hasil inventarisasi diketahui terdapat 11 jenis pada tingkat Pancang, 12 jenis pada tingkat Tiang dan 11 jenis pada tingkat Pohon.

Pada tingkat Pohon didominasi oleh genus Rhizophora, tidak berbeda jauh dengan tingkat semai tegakan dimana prosentase penutupan genus ini dari ketiga spesies mencapai 90,83%. Hal ini menunjukkan ketersediaan bibit tingkat semai genus Rhizophora yang cukup memadai dengan kerapatan semai mencapai 148; 115 dan 25 tegakan/ha. Hal ini menunjukkan bahwa tegakan genus Rhizophora mempunyai nilai ekologis dan ekonomis yang tinggi dibuktikan dengan nilai INP yang tertinggi. Secara ekonomis pohon dari genus ini dapat digunakan sebagai produk bahan bangunan, bantalan kereta api dan lain-lain.

Hasil identifikasi flora yang dilakukan pada tahun 2017 tidak hanya dikhususkan pada mangrove saja sehingga dijumpai kurang lebih terdapat 22 jenis flora, yaitu Api-api, Bakau, Teruntun, Wakat, Kalibuat, Bangko, Babisuk, Ai bikumean, Kabesak, Paku Laut, Bakau, Rumput Angin, Nyiri, Kesambi, Takada, Beringin, Gewang, Lontar, Buta-buta, Ketapang, Bidara, Asam Jawa, Waru.

 

Potensi Fauna

Identifikasi fauna di CA. Hutan Bakau Maubesi dilakukan pada tahun 2003 dan tahun 2017, dengan lokus pengamatan hanya pada aves, reptil dan mamalia. Hasil identifikasi burung tahun 2017 sebanyak 33 jenis, dimana hasil tersebut tiga kali lebih Hasil identifikasi Reptil tahun 2017 sebanyak 8 jenis, dimana hasil tersebut empat kali lebih banyak dibanding hasil tahun 2003 sebanyak 2 jenis.

 

Tipe Ekosistem

Tipe Ekosistem di CA. Hutan Bakau Maubesi lebih didominasi oleh flora dan fauna yang dapat berasosiasi dan beradaptasi di daerah intertidal. Untuk flora pada umumnya lebih sering dijumpai tipe ekosistem mangrove dengan berbagai tipe zonasi penyusunya. Zonasi mangrove di Cagar Alam Maubesi, menyerupai system zonasi mangrove yang secara umum merupakan hasil inventarisasi di kawasan Pasifik. Dimana kondisi zonasi secara umum di pasifik adalah pohon-pohon spesies dari genus Avicennia, yang didalamnya terdapat juga spesies dari genus Sonneratia. Dibelakangnya didominasi oleh genus Rhizophora dengan dominasi satu atau lebih spesies dari Rhizophora, dan tidak jarang terlihat adanya spesies lain didalamnya. Didepan yang lebih menghadap daratan, didominasi oleh spesies dari genus Bruguiera, dan bruguiera ini dapat berasosiasi dengan Ceriops.

Genus Avicennia mendominasi pada plot yang menghadap ke arah perairan ataupun wilayah yang langsung bersentuhan dengan perairan yang kandungan garammnya (salinitas) lebih tinggi, terutama avicennia marina, diikuti oleh Avicennia alba. Habitat Avicennia sangat sempit, hanya pada daerah pinggir tepian yang langsung menghadap matahari. Avicennia tidak dapat tumbuh dengan baik pada keadaan yang teduh atau berlumpur tebal yang biasanya terdapat di dalam hutan. Yang berasosiasi didalamnya adalah Sonneratia yang menyukai habitat menghadap arah laut dan tumbuh pada daerah yang senantiasa basah.

Adanya spesies Rhizophora di zona Avicennia, adalah karena sifat Rhizophora yang sangat aktif membentuk daratan (dibandingkan genus lainnya) dengan akarnya yang saling melengkung dan dapat berikatan dengan rapat diantara sesamanya sehingga mampu menahan dan mengendapkan partikel sedimen, sehingga sangat sering genus ini ditemui dibagian pinggir laut dan muara sungai dan sepanjang bataran/ pematang sungai. Hal ini didukung oleh buah dari Rhizophora sp yang panjangnya dapat mencapai rata-rata 30 – 50 cm, dan sifat buah yang vivipar, sehingga cepat tumbuh dibandingkan genus lainnya.

Dibelakang zona Avicennia, adalah zona Rhizophora yang didominasi oleh Rhizophora  apiculata, Rhizophora mucronata dan Rhizophora stylosa. Pohon dari Rhizophora sp memiliki akar tunggang yang melengkung yang mengakibatk daerah ini sukar ditembus oleh manusia. Rhizophora sp berkembang pada daerah intertidal dengan kisaran yang luas, dari tingkat tergenang pada setiap pasang naik sampai daerah yang tergenang hanya pada pasang purnama tertinggi. Ditemukannya Aegiceras corniculatum pada bagian yang lebih menjorok ke dalam dari pada zona ini, karena mempunyai toleransi tinggi dengan salinitas pada saat pasang naik normal yang biasanya mencapai pada zona ini.

Zona yang menghadap daratan dibentuk oleh genus Bruguiera. Zona ini ditandai dengan substrat yang lebih keras dan bertanah liat. Kemudian bila memungkinkan dominasi jumlah spesiesnya, dibelakangnya terbentuk zona Ceriops. Pada umumnya ceriops sp ini bergabung membentuk zonasi dengan Bruguiera sp. Adanya Rhizophora sp pada zona ini, kemungkinan karena pasang purnama tertinggi masih bisa mencapai daerah ini, sehingga dapat melunakkan substrat. Sedangkan bagi Bruguiera sp mensyaratkan habitatnya tidak sering tergenang perairan dan mempunyai system pengeringan daratan yang baik.

 

Proses Ekologis

Pola penutupan vegetasi dan penggunaan lahan saat ini sebagian besar di wilayah DAS Benain dan sebagian kecil di DAS Koke, meliputi hutan bakau, rawa, lahan basah, semak belukardan tambak. Hasil analisis citra landsat tahun 2009 menunjukkan bahwa penutupan lahan di CA. Hutan Bakau Maubesi, didominasi oleh hutan mangrove yakni seluas 2.397 hektar, atau 73,4% dari luas kawasan 3.246 hektar. Walaupun demikian, mutu penutupan lahan hutan tersebut telah mengalami penurunan hingga saat ini baik yang disebabkan oleh aktifitas manusia maupun fenomena alam. Lahan terbuka yang ada di kawasan ini bukan berarti bahwa kondisi lokasi tersebut kritis, namun di beberapa tempat di karenakan kondisi alami berupa sedimen lumpur atau warga setempat menyebutnya sebagai “hara”. Hasil analisis landsat menunjukkan bahwa area terbuka seluas 519,27 hektar sedangkan sisanya berupa tubuh air/sungai.

 

Aksesibilitas Kawasan

Kabupaten Malaka merupakan pengembangan dari kabupaten induk yaitu Kabupaten Belu pada tahun 2013 sehingga akses jalan saat ini relatif semakin baik. Namun baiknya akses jalan yang sangat bermanfaat bagi masyarakat tentunya berbanding terbalik terhadap kawasan. Dimana semakin mudah kawasan tersebut dijangkau maka semakin rawan terhadap gangguan sehingga membutuhkan kerjasama semua pihak dalam menjaga keberadaan Cagar Alam Hutan Bakau Maubesi. Akses dari Kupang menuju Betun (Kab. Malaka) sebagian besar cukup baik berupa jalan aspal hot mix walaupun dibeberapa titik masih terdapat kerusakan dikarenakan longsor maupun belum dilakukan perbaikan dengan waktu tempuh kurang lebih 6 s/d 7 jam.

 

Iklim

Iklim merupakan gabungan dari berbagai kondisi cuaca sehari-hari, atau dapat juga dikatakan bahwa iklim merupakan rata-rata cuaca dalam waktu yang lama. Unsur iklim yang berpengaruh terhadap karakteristik suatu wilayah adalah curah hujan, temperatur udara, kelembaban udara, kecepatan angin, penyinaran matahari dan evaporasi. Berdasarkan klasifikasi iklim dari Schmidt dan Ferguson (1954) Kabupaten Belu memiliki tipe iklim t dan Ferguson (1954) Kabupaten Belu memiliki E dengan curah hujan rata-rata 111 mm/tahun. Curah hujan tertinggi pada bulan Nopember – Maret, sedangkan curah hujan terkecil pada bulan April – Oktober bahkan pada periode ini terjadi kemarau panjang.

 

Topografi dan Geologi

Kawasan CA. Hutan Bakau Maubesi yang merupakan teluk kecil sehingga memiliki kontur yang relatif landai dengan ketinggian tempat sekitar 0-25 mdpl dengan kelerengan 8-15%. Berdasarkan peta Geologi Indonesia skala 1:2.000.000, formasi geologi kawasan tersebut termasuk pada Formasi Suai.

 

Tanah

Berdasarkan peta tanah bagan Indonesia skala 1: 1.250.000 (Lembaga Penelitian Tanah Bogor, 1968), kawasan tersebut sebagian besar memiliki jenis tanah Aluvial, sedangkan sisanya jenis tanah Kambisol Eutrik di bagian utara kawasan dan sedikit jenis tanah Regosol di bagian selatan.

Tanah aluvial                :   tanah tidak berkembang, tergenang permanen, abu-abu kecoklatan gelap sampai terang, tanah berlumpur lunak, sering didominasi oleh garam.

Kambisol Eutrik             :   tanah agak lapuk mengalami stres kelembaban musiman, dengan konsentrasi bubuk kapur setelah terjadi evaorasi air tanah yang banyak mengandung kapur, konsentrasi basa tinggi.

Regosol                        :   tanah tidak berkembang, berpasir dan berkerikil, tanah dalam di daerah beriklim panas.

 

Hidrologi

Pada kawasan Cagar Alam Maubesi tidak ditemukan adanya sungai besar maupun kecil, yang ada hanya berupa 7 buah sub teluk yang menjorok sampai ke darat dan sub teluk masih dipengaruhi oleh pasang surut air laut.