Call Center.pngStop Illegal.png

Lokasi

Wilayah Cagar Alam (CA) Watu Ata secara administrasi pemerintahan berada di Kabupaten Ngada yang mana berada di 3 (tiga) kecamatan, yaitu;

KecamatanAimere           :   Desa Aimere Timur, Desa Kaligejo, Desa Heawea;

Kecamatan Bajawa           :   Kelurahan Bajawa, Desa Beiwali, Desa Wawowae, Desa Langagedha, Desa Ngoranale, dan Desa Muku Voka;

Kecamatan Bajawa Utara  :   Desa Waewea, dan Desa Inelika.

Secara astronomis terletak pada 8° 43' 21,656" - 8° 49' 28,735" LS dan 120° 54' 14,489" - 120° 59' 3,352" BT, dengan batas-batas wilayah administrasi sebagai berikut:

Bagian Utara                    :   Desa Naru, Desa Ngora Nale, Desa Inelika dan Desa Waewea;

Bagian Selatan                 :   Kelurahan Bajawa, Desa Langagedha dan Desa Aimere Timur; Desa Kaligejo

Bagian Barat                    :   Desa Heawea, Desa Kaligejo, dan Desa Aimere Timur;

Bagian Timur                    :   DesaInelika, Desa Beiwali, Desa Wawowae, Desa Ngora Nale, Desa Muku Voka, Desa Naru, Kelurahan Jawameze dan Kelurahan Bajawa.

 

Sejarah Kawasan

·         Kesepakatan penetapan kawasan hutan dengan masyarakat sudah dimulai sejak masa Pemerintahan Belanda, De Resident Van Timor En Onderhoorigileden pada tahun 1932 yang menetapkan kawasan hutan Inelika seluas 5.400 Ha menjadi hutan tutupan melalui Calenon Het Zelfbestuur Besluit Van Ngada, 29 Juni 1932 No. 20.  Tanda batas kawasan tersebut dikenal masyarakat sebagai Pal I.  Kawasan yang termasuk dalam Pal I adalah kawasan yang saat ini merupakan perbatasan antara Desa Inegina dengan Desa Inelika.  Pal I biasa  disebut masyarakat sebagai tanah “ma’e pire” yaitu tanah yang tidak boleh digarap dan diserahkan oleh nenek moyang karena merasa penting untuk melindungi kawasan tersebut.  Masyarakat juga menyadari tentang apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan di dalam kawasan hutan dan kesadaran ini yang kemudian biasa disebut sebagai “Rii”;

·         Permasalahan kawasan mulai muncul ketika terjadi perubahan pal dari Pal I menjadi Pal II yaitu sekitar tahun 1940.  Saat itu pemerintah menetapkan Pal II yang bergeser masuk ke lahan penggembalaan ternak masyarakat, selain itu pemasangan pal tanpa melalui proses komunikasi terlebih dahulu dengan masyarakat;

·         Permasalahan batas kawasan semakin komplek ketika ditetapkan Pal III sekitar tahun 1950 yang lebih bergeser lagi ke lahan pertanian masyarakat yang saat itu ditanami tanaman jagung dan umbi-umbianRespon masyarakat berbeda ketika penetapan Pal I dan Pal II. Saat penetapan Pal III karena masuk wilayah pertanian masyarakat, terjadi protes dan bahkan ada warga yang ditangkap karena dianggap melawan pemerintah;

·         Permasalahan lahan mulai muncul kembali sekitar tahun 1989, ketika itu terjadi pemasangan pal batas cagar alam sebagai konsekuensi ditunjuknya kawasan hutan lindung yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor :89/Kpts-II/1983 menjadi kawasan Cagar Alam; 

·         Pada hari selasa tanggal 14 Agustus 1990 para pihak yang berkepentingan sebagai panitia tata batas yang diketuai oleh Bupati Ngada dan Kepala Cabang Dinas Kehutanan Propinsi Dati I NTT sebagai Sekretaris, telah berkumpul dan bersepakat untuk menetapkan batas-batas yang tetap dari areal hutan yang akan ditetapkan sebagai kawasan hutan berdasarkan Berita Acara Tata Batas CA. Watu Ata terletak di Kelompok Hutan Ngada Wolo Merah Riung (RTK 142) Pulau Flores dengan luas 4.898,80 Hektar;

·         Pada tahun 1992 kawasan CA Watu Ata ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 432/Kpts-II/92 tanggal 5 Mei 1992 dengan luas 4.898,80 Hektar;

·         Selanjutnya pada tahun 1999, 2014 terdapat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan, dan Keputusan  Menteri Kehutanan tentang kawasan hutan di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang sekaligus semakin mengukuhkan keberadaan kawasan CA Watu Ata dengan luas 4.898,80 Hektar;

·         Pada periode tahun 2014-2015telah dilakukan review kawasan hutan di Provinsi oleh Tim Terpadu yang mana menghasilkan perubahan peruntukan dan perubahan fungsi pada sebagian kawasan hutan yang mana salah satunya CA Watu Ata. Sebagian kawasan CA Watu Ata berubah fungsi, yaitu sebagai fungsi Cagar Alam dengan luas 4.335,58 Hektar dan sebagai fungsi Hutan Lindung dengan luas 617,06 Hektar (Surat Kepala BPKH Wilayah XIV Kupang Nomor: S.313/BPKH.XIV-2/8/2017 tanggal 8 Agustus 2017);

·         Terkait perubahan peruntukan dan perubahan fungsi kawasan hutan, maka pada tahun 2016 dikeluarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan KehutananNomor: SK.357/Menlhk/Setjen/PLA.0/5/2016tentangPerubahan Peruntukan Kawasan Hutan Menjadi Bukan KawasanHutan Seluas ±54.163 Hektar, Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Seluas ±12.168 Hektar, dan Penunjukan Bukan Kawasan Hutan Menjadi Kawasan Hutan Seluas ±11.811Hektar di Provinsi Nusa Tenggara Timurdimana kawasan hutan Watu Ata termasuk di dalamnyasebagian berubah fungsi menjadi Hutan Lindung dengan luas 617,06 Hektar dan sebagian tetap dalam fungsi Cagar Alam dengan luas 4.335,58 Hektar.

 

Dasar Hukum Kawasan

·         Penetapan De Resident Van Timor En Onderhoorigileden melalui Calenon Het Zelfbestuur Besluit Van Ngada, No. 20 tanggal 29 Juni 1932.

·         Keputusan Menteri Kehutanan Nomor :89/Kpts-II/1983 tanggal 2 Desember 1983 tentang Penunjukan Areal Hutandi Provinsi Nusa Tenggara Timur, dimana CA Watu Ata termasuk di dalamnya;

·         Tata batas kawasan CA. Watu Ata, Kelompok Hutan Ngada Wolo Merah Riung (RTK 142) pada tahun 1990 dengan luas 4.898,80 Hektar;

·         Pada tahun 1992 kawasan CA Watu Ata ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 432/Kpts-II/92 tanggal 5 Mei 1992 dengan luas 4.898,80 Hektar;

·         Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor: 423/Kpts-II/1999 tanggal 15 Juni 1999 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Timur Seluas ±1.809.990 Hektar, dimana kawasan CA Watu Ata termasuk di dalamnya dengan luas 4.898,80 Hektar;

·         Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.3911/MENHUT-VII/KUH/2014 tanggal 14 Mei 2014 tentang Kawasan Hutan dan Konservasi Perairan Provinsi Nusa Tenggara Timur Seluas ±1.784.751 Hektar, dimana kawasan CA Watu Ata termasuk di dalamnya dengan luas 4.898,80 Hektar;

·         Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan KehutananNomor: SK.357/Menlhk/Setjen/PLA.0/5/2016tentangPerubahan Peruntukan Kawasan Hutan Menjadi Bukan KawasanHutan Seluas ±54.163 Hektar, Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Seluas ±12.168 Hektar, dan Penunjukan Bukan Kawasan Hutan Menjadi Kawasan Hutan Seluas ±11.811Hektar di Provinsi Nusa Tenggara Timurdimana kawasan CA Watu Ata termasuk di dalamnyaSebagian kawasan CA Watu Ata berubah fungsi, yaitu sebagai fungsi Cagar Alam dengan luas 4.335,58 Hektar dan sebagai fungsi Hutan Lindung dengan luas 617,06 Hektar.

 

Kondisi Ekosistem

Kawasan Cagar Alam Watu Ata merupakan salah satu perwakilan tipe ekosistem hutan dataran sedang di wilayah Nusa Tenggara Timur yang dibedakan berdasarkan tutupan vegetasinya meliputi; hutan primer, hutan sekunder, semak belukar dan savanna.

1. Hutan Pegunungan Bawah

Hutan pegunungan bawah berada pada ketinggian diatas 1.000 m dpl. Hutan awet basah dimana air hampir selalu tersedia melalui hujan, kabut ataupun awan yang turun. Hutan ini meliputi wilayah pada puncak-puncak ketinggian, pada tanah vulkanis. Keanekaragaman yang cukup tinggi dapat ditemui pada wilayah ini.

2. Savana Padang Rumput dan Semak Belukar

Savana padang rumput dan alang-alang ditumbuhi pohon-pohon yang jenisnya terbatas dan jarang. Semak belukar dan pohon kirinyu yang telah mulai mendominasi kawasan ini memenuhi sampai sekitar 30% dari luas seluruh kawasan.

3. Wilayah Tebing dan Aliran Sungai

Wilayah Cagar Alam Watu Ata merupakan bentang alam bergelombang permanen dengan tebing tebing yang terjal sebagai ciri khas kawasan. Aliran sungai mengalir sepanjang tahun di tengah-tengah kawasan seakan membelah kawasan dan meliputi areal yang sangat terjal dan jurang yang dalam. Namun pada wilayah tertentu dimana masih didapati hutan tropis pada puncak-puncak kawasan akan dengan mudah didapati aliran kecil air jernih yang mengalir sepanjang tahun dari mata air.

 

Potensi Flora (Tumbuhan)

Jenis-jenis pohon yang banyak tumbuh pada hutan sekunder antara lain: Anggrung (Trema orientalis), Deo (Glochidion sp), Mara (Macaranga faverius) dan lain-lain.  Hasil penelitian yang dilakukan oleh DR. Leo Bani Lodu (2003), ditemukan 63 jenis tumbuhan berkayu di Leko Guka kawasan CA Watu Ata. Jenis tanaman yang paling banyak ditemukan yaitu Ehretia acuminata R Br. sebanyak 235 individu dan Palaquium obstusifoliumBurk. sebanyak 227 individu.   Jenis tanaman   berkayu   yang   sedikit   ditemukan   diantaranya  Buchanania rborescen Bl.Bombax ceiba PlumFicus subglauca M.Dr.Dendrocnide sp.

Jenis  tanaman perkebunan yang paling banyak dijumpai  adalah tanaman kopi, ada dua jenis kopi yang dibudidayakan yaitu jenis  Arabica  (Coffea arabica) dan Robusta (Coffea robusta). Selain kopi, di pinggiran kebun ditanam jenis buah-buahan antara lain Alpokat (Persea americana) dan bambu (Gigantoclhoa sp). Tanaman semusim yang diutamakan pada lahan bukaan baru antara lain jagung (Zea mays), vanili (Vanilla planifolia), gude, pisang, wortel (Daucus carota) dan lain-lain. Jenis-jenis tumbuhan liar/semak belukar yang umum dijumpai adalah kirinyu (Clibadium surinamense), ilalang (Imperata cylindrica), dan Tephrosia sp.

 

Potensi Fauna (Satwa)

Berdasarkan informasi dari penduduk lokal dan petugas BBKSDA beberapa jenis fauna di CA Watu Ata antara lain; rusa, babi hutan, kera, serta beberapa jenis burung seperti elang, tekukur, burung madu-maduan dan lain-lain. Saat kunjungan lapang satwa yang dijumpai antara lain: elang, tekukur.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh DR.Leo Bani Lodu (2003), ditemukan 5 jenis mamalia di Wolo Koro kawasan CA Watu Ata. Jenis mamalia yang paling banyak ditemukan antara lain tikus (Ratus timunicus var. sabae) dalam bahasa lokal disebut dheke sebanyak 54 individu, monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) atau bahasa lokal disebut kodhe sebanyak 43 individu, dan musang (Diplogale hosei) atau dalam bahasa lokal disebut bheku sebanyak 36 individu. Sedangkan jenis mamalia yang proporsi kelimpahannya rendah adalah babi hutan (Sus sp) atau dalam bahasa lokal disebut sui mere dan tikus pohon (Lenotrix canus) atau dalam bahasa lokal disebut betu.  Burung Koa kiu (Philemon moluccensis) ditemukan paling banyak  menghuni  Cagar  Alam  Watu  Ata, sedangkan jenis burung Poro toro, Keli (Aprosmictus jonquillaceus ) dan Analeo (Oriolus flavocinctus) paling sedikit ditemukan selama pengamatan, DR. Leo Bani Lodu (2003).

 

Potensi Ekonomi

Kabupaten Manggarai dan Kabupaten Ngada merupakan wilayah di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang terkenal sebagai daerah penghasil Kopi. Jenis  tanaman kopi yang paling banyak dijumpai ada dua jenis, yaitu jenis  Arabica  (Coffea arabica) dan Robusta (Coffea robusta). Berdasarkan data yang dikutip dari “Statistik Kopi Indonesia 2016” yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik Tahun 2017, luas areal dan produksi kopi perkebunan rakyat di Provinsi Nusa Tenggara Timur mencapai 64.503 Hektar dengan hasil produksi mencapai 20.971 Ton.

Secara ekonomi, nilai ekspor kopi AFB (Arabika Flores Bajawa) pada tahun 2015 mencapai Rp.8,2 miliar dan meningkat menjadi Rp10,5 miliar pada tahun 2016. Akan tetapi selama tahun 2017, nilai ekspor tiba-tiba anjlok hingga Rp.570,7 juta. Kondisi ini tidak terlepas dari rendahnya produksi kopi sebagai dampak dari perubahan iklim. Angin kencang dan la nina yang terjadi pada fase pembungaan membuat bunga kopi berguguran yang mengakibatkan rendahnya produksi kopi sehingga berdampak terhadap menurunnya nilai ekspor.

Tingginya nilai ekonomi tidak sejalan dengan kondisi kawasan konservasi yang ada yaitu CA Watu Ata, dimana berdasarkan pengolahan data dan hasil survey yang dilakukan oleh Lembaga Advokasi dan Penguatan  Masyarakat Sipil (Lapmas), diperoleh data bahwa hasil citra satelit (November, 2004) diperoleh data lahan garapan dalam kawasan Cagar Alam Watu Ata adalah seluas 652,42 ha (13,32%) dari luas kawasan. Kemudian pada tahun 2006, berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh Lapmas, diperoleh data lahan garapan dalam kawasan seluas 962,61 ha (19,65%) dari luas kawasan. Selama kurun waktu 2 tahun tersebut, terjadi penambahan luas kawasan yang digarap sebesar 6,33%. Selain data tersebut, hasil analisis terhadap data citra satelit SPOT 6 akusisi tahun 2014-2015 yang dilakukan oleh BBKSDA NTT tahun 2017, diperoleh data bahwa luas Open Area di CA Watu Ata seluas ±1044,48 Hektar yang terdiri dari Pemukiman seluas ±30,33 Hektar dan Pertanian Lahan Kering Bercampur Semak seluas ±1.014,14 Hektar.

Maraknya perambahan di kawasan CA Watu Ata tidak terlepas dari adanya peran pemerintah daerah, dimana pada periode tahun 1969 pada masa pemerintahan Bupati Yan Yos Botha, mencanangkan  proyek Casiavera dengan penanaman kayu manis di kebun rakyat dengan sistem tumpang sari tanaman jagung dan kacang-kacangan. Pada saat itu, masyarakat Wawowae dan Kelurahan Susu dihimbau oleh Bupati Yan Yos Botha untuk menanam kopi di lokasi yang sekarang menjadi cagar alam. Lahan dibagi-bagi oleh pemerintah desa atas perintah Bupati Yan Yos Botha, dalam hal ini status tanah adalah kawasan hutan negara dengan konsep hak kelola bukan hak milik dimana setiap orang memilih lahan pengelolaan masing-masing.

 

Potensi Sosial Budaya

Budaya masyarakat setempat pada dasarnya sangat menjaga keberadaan kawasan hutan salah satunya kawasan hutan Inelika seluas 5.400 Ha yang saat itu ditetapkan pada masa Pemerintahan Belanda oleh De Resident Van Timor En Onderhoorigileden melalui Calenon Het Zelfbestuur Besluit Van Ngada, 29 Juni 1932 No. 20. Tanda batas kawasan tersebut dikenal masyarakat sebagai Pal I.  Kawasan yang termasuk dalam Pal I adalah kawasan yang saat ini merupakan perbatasan antara Desa Inegina dengan Desa Inelika.  Pal I biasa  disebut masyarakat sebagai tanah “ma’e pire” yaitu tanah yang tidak boleh digarap dan diserahkan oleh nenek moyang karena merasa penting untuk melindungi kawasan tersebut. Masyarakat juga menyadari tentang apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan di dalam kawasan hutan dan kesadaran ini yang kemudian biasa disebut sebagai “Rii”.

Cara hidup masyarakat di sekitar kawasan berupa adat istiadat dan kebiasaan baik berupa upacara adat penghormatan Batu peninggalan  sejarah (Menhir) di Kampung Bawak sebelah selatan kota Bajawa di dalam kawasan CA Watu Ata yang berada pada ketinggian 1.130 meter dari permukaan laut, yang diyakini oleh masyarakat setempat sebagai tempat persinggahan pertama leluhur mereka, sehingga masyarakat yang berasal dari kampung tersebut setiap tahun datang untuk mengadakan upacara yang disebut “Toba“ (Setiap bulan Pebruari), untuk menghormati leluhurnya terhadap hasil yang telah diperoleh selama setahun.

 

Aksesibilitas Kawasan

Kawasan CA Watu Ata berada di Bajawa yang mana merupakan ibukota Kabupaten Ngada, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Akses menuju CA Watu Ata dapat ditempuh melalui jalur darat, jalur laut, maupun jalur darat.

1.   Jalur Udara dilanjutkan jalur Darat, dapat ditempuh dengan pilihan rute sebagai berikut:

a.      Kupang – Soa sekitar 1 jam, dilanjutkan perjalanan darat kelokasi CA Watu Ata Sekitar 2 jam;

b.      Kupang – Ende sekitar 45 menit, dilanjutkan dengan perjalanan darat dari Ende – Bajawa - ke lokasi CA Watu Ata sekitar 5 jam;

c.       Kupang – Ruteng sekitar 1 jam, dilanjutkan perjalan darat Ruteng – Aimere – ke lokasi CA Watu Ata sekitar 5 jam.

2.   Jalur Laut dilanjutkan jalur Darat, dapat ditempuh dengan pilihan rute sebagai berikut:

a.      Kupang – Aimere menggunakan Kapal Ferry sekitar 24 jam, dilanjutkan dengan perjalanan darat dari Aimere ke lokasi CA Watu Ata sekitar 1 jam;

b.      Kupang – Ende menggunakan Kapal Ferry sekitar 18 jam, dilanjutkan dengan perjalanan darat Ende – Bajawa – ke lokasi CA Watu Ata sekitar 5 jam;

c.       Kupang – Ende menggunakan kapal PELNI 2 minggu sekali sekitar 18 jam, dilanjutkan dengan perjalanan darat Ende – Bajawa – ke lokasi CA Watu Ata sekitar 5 jam.

 

Iklim

Kondisi iklim di Kabupaten Ngada sebagaimana halnya seperti sebagian besar wilayah di NTT adalah beriklim tropis dimana curah hujan 2.693 mm/tahundengan rata-rata 224,42 mm/tahun. Adapun jumlah hari hujan 159 hari/tahun dengan rata-rata 13,25 hari/tahun (BPS Kab. Ngada, Kab Ngada Dalam Angka Tahun 2018).

Dikutip dari Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Ngada Tahun 2015, secara umum di Provinsi Nusa Tenggara Timur maupun di Kabupaten Ngada hanya dikenal 2 (dua) musim, yaitu musim hujan pada Desember-Maret dan musim kemarau pada bulan Juni-September. Menurut Oldeman iklim di Kabupaten Ngada dibagi menjadi:

- Tipe C3 seluas 20.120,41 Ha;

- Tipe D3 seluas 60.627,20 Ha;

- Tipe D4 seluas 62.248,12 Ha;

- Tipe E4 seluas 34.676,27 Ha.

 

Geologi dan Tanah

Formasi geologi merupakan suatu strata atau perlapisan batuan yang mempunyai jenis batuan dan fasies yang memiliki kesamaan karakteristik. Berdasarkan peta Geologi Indonesia skala 1:2.000.000, kawasan CA Watu Ata sebagian besar terdiri atas: (1) andesit; basalt; breksi; tefra berbutir halus, (2) andesit; basalt, (3) basalt; andesit; breksi, dan (4) tefra berbutir halus; tefra berbutir kasar; diorit. Adapun formasi batuan penyusun CA Watu Ata terdiri atas Formasi Batuan Gunung Api Tua seluas ±4092 Ha, dan Formasi Batuan Gunung Api Muda ±243 Ha.

Jenis tanah di CA Watu Ata berdasarkan peta tanah bagan Indonesia skala 1: 1.250.000 (Lembaga Penelitian Tanah Bogor, 1968)terbagi dalam 4 jenis tanah. Yang terluas jenis tanah Kambisol Humik seluas ±2466 Ha, jenis tanah ini hampir setengah bagian dari kawasan yang membentang di bagian utara hingga selatan. Jenis tanah berikutnya yaitu Kambisol Distrik seluas ±1.141 Ha, jenis tanah Andosol Eutrik seluas ±603 Ha, dan yang terakhir yaitu jenis tanah Regosol Distrik seluas ±124 Ha.

 

Topografi

Kawasan CA Watu Ata memiliki beragam tipe topografi mulai dari topografi datar hingga topografi sangat curam. Kawasan dengan topografi datar seluas ±152 Ha (3,51%); landai seluas ±714 Ha (16,47%); agak curam seluas ±1.293 Ha (29,83%); curam seluas ±1.179 Ha (27,20%); dan sangat curam seluas ±996 Ha (22,99%). Adapun ketinggian wilayah CA Watu Ata berkisar antara 660 mdpl sampai dengan 1.850 mdpl, dari data tersebut terlihat bahwa topografi di CA Watu Ata memiliki medan yang sangat bergelombang dan terjal, sehingga cukup berat bagi petugas lapangan dalam melakukan penjelajahan kawasan.

 

Hidrologi

Cagar Alam Watu Ata sebagai daerah tangkapan air bagi daerah kota Bajawa. Sungai-sungai yang berhulu dalam kawasan CA ini antara lain Wae Buka, Wae Tala, Wae Fau, Wae Kuru, Wae Bawa dan sungai-sungai kecil lainnya yang sebagian besar mengalir kearah selatan dan bermuara di Laut Sawu. Beberapa gunung yang berada di dalam kawasan CA. Watu Ata antara lain Wolo (gunung) Watu Ata (1.600 m dpl.) Wolo Lobobutu (1.800 m dpl.), Wolo Atagae (1.680 m dpl.).