Ekosistem blue carbon adalah ekosistem dimana di dalamnya terdapat mekanisme penangkapan dan penyimpanan karbon atau carbon sequestration berupa karbon yang ditangkap dan disimpan oleh ekosistem laut dan ekosistem pesisir. karbon tersebut ditangkap dan disimpan oleh organisme hidup di dalam lautan dan disisihkan dalam bentuk biomass dan sedimentasi dari ekosistem mangrove (bakau), ekosistem pasang surut perairan air asin di pesisir pantai, ekosistem padang lamun dan potensial organisme alga (Nelleman et al., 2009).
Blue carbon mewakili keberadaan karbon yang terkandung di dalam ekosistem laut dan ekosistem perairan, berbeda dengan keberadaan karbon di dalam ekosistem yang biasa kita kenal seperti misalnya ekosistem hutan. Maka, meskipun habitat tumbuhan atau vegetasi ekosistem laut menutupi hanya sekitar 0,5 % permukaan dasar laut, penyimpanan karbon ini meliputi lebih dari 50 % dan bahkan bisa mencapai sampai dengan 70 % keseluruhan simpanan carbon yang ditemukan berada di dalam endapan permukaan dasar lautan (Nelleman, 2009).
Sebenarnya istilah ‘ekosistem blue carbon’ sendiri adalah mengacu kepada tiga tipe habitat vegetasi di perairan pantai, yaitu : mangrove, Salt marshes atau daerah pasang surut perairan asin, dan padang lamun, serta peran keseluruhan tipe ekosistem tersebut di dalam putaran karbon dunia.
Dalam sudut pandang blue carbon, ketiga tipe ekosistem ini memiliki ciri-ciri utama berupa tingginya tingkat kandungan karbon yang terkubur di dalamnya dan memiliki kelebihan sehingga mencapai sampai dengan 40 kali lipat kandungan karbon yang dimiliki oleh sistem penyimpanan pada jenis ekosistem daratan (Mcleod, 2010).
Mangrove merupakan hutan yang selalu hijau sepanjang tahun –evergreen- umumnya tumbuh mulai dari ketinggian sejajar tinggi permukaan air laut sehingga sampai dengan ketinggian daratan sejauh permukaan pasang laut tertinggi atau highest astronomical tide (HAT). Setidaknya hampir sejumlah 40 jenis spesies pohon mangrove sejati ditemukan pada kawasan segitiga coral (Tomlisson, 1987). Spesies tersebut ditemukan di tiga zona utama, yaitu zona tepi laut, zona pertengahan atau mesozone dan zona tepi daratan. Daerah perbatasan atau peralihan mangrove menuju daratan yang lebih tinggi merupakan tempat muasal bagi jenis pohon dan habitus semak yang disebut sebagai jenis tumbuhan asosiasi mangrove, seperti misalnya yang ditemukan pada hutan rawa daratan rendah (Tomascik et al., 1997).
Indonesia memiliki sejarah kepemilikan luasan kawasan hutan mangrove terluas sampai dengan saat ini. Secara keseluruhan, kawasan Asia Tenggara memiliki luasan tutupan hutan mangrove seluas sekira 4,5 juta km2, dan merupakan bagian sebanyak 39% dari luasan keanekaragaman hayati mangrove seluruh dunia (FAO, 2015). Dari luasan tersebut, Indonesia memiliki tutupan luasan hutan mangrove terbesar seluas 2,24 juta ha, diikuti oleh luasan hutan mangrove yang dimiliki Malaysia seluas 521 ribu ha dan kemudian Phillipina seluas kira kira 356 ribu ha. Sedangkan Timor Leste dan Singapura memiliki luasan hutan mangrove yang tutupannya paling rendah sekira hanya 3 ribuan ha saja.
Ekosistem padang lamun, hutan mangrove dan daerah pasang surut perairan asin dapat memerangkap karbon dioksida (CO2) dari atmosphere dengan cara menyimpan unsur karbon pada lapisan endapan sedimennya, juga di bawah permukaan tanah dan pada bagian biomassa di bawah permukaan serta serasah.
Pada biomass tumbuhan hidup seperti misalnya dedaunan, batang batang, percabangan dan perakarannya, blue carbon dapat disimpan selama bertahun tahun bahkan hingga jutaan tahun dalam bentuk endapan sedimentasi bawah tanah. Sehingga, meski ekosistem perairan tersebut memiliki tutupan hutan dengan luasan yang lebih sedikit serta memiliki jumlah/volume biomassa diatas permukaan tanah yang kurang luas dibandingkan dengan volume biomass tumbuhan di daratan, mereka itu sesungguhnya memiliki potensi kandungan jangka panjang simpanan karbon, terutama adalah dalam bentuk endapan sedimentasi.
Konservasi di Cagar Alam Hutan Bakau Maubesi
Di batas negeri antara Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Republic Democratic Timor Leste terbentang ekosistem penting berupa ekosistem hutan bakau yang menjadi salah satu perwujudan utama ekosistem blue carbon dan bentuk nyata kerja konservasi sumber daya alam hayati di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Kawasan Cagar Alam (CA) Hutan Bakau Maubesi memiliki luas 3.246 hektar, penutupan vegetasi yang rapat dan tegakan berumur tua berasal dari beragam jenis mangrove yang membentuk kumpulan populasi sejenis di beberapa tempat seiring dengan perkembangan waktu dan daya adaptasi terhadap lingkungan. Beberapa jenis mangrove yang terdapat disini diantaranya adalah jenis Api-api (Avicenia sp.), Bakau (Rhizopora sp.), Buta-buta (Exoelcasia sp.), Nyiri (Xylocarpus sp.), Santigi (Pemphis acidula), Ceriops tagal, Bruguiera sp. Di kawasan CA Maubesi secara lebih lengkap ditemukan sebanyak 23 jenis mangrove yang terdiri dari 16 jenis mangrove sejati dan 7 jenis mangrove asosiasi (Hidayatullah dkk., 2013).
Ukuran vegetasi yang jauh dari pemukiman yaitu rerata tinggi pohon mencapai 15 meter dan diameter rata-rata mencapai 25 cm (Lesmana dkk, 2000). Hasil Analisis Citra menunjukkan bahwa dari total luas kawasan seluas 3.246 ha, penutupan hutan mangrove di Maubesi kurang lebih 2500 ha, luas badan air di kawasan ini kurang lebih seluas 350 ha yang merupakan muara sungai benain dan sungai-sungai utama yang ada di Kabupaten Malaka seperti Sungai Maubesi, Sungai Kotun, Sungai Darekama, dan Sungai Mamea. Cagar alam ini juga merupakan habitat bagi beragam satwa liar dari berbagai jenis mamalia, burung, reptilia, crustaceae, serangga dan dari jenis jenis lainnya, yaitu sebanyak 38 jenis burung, 8 jenis Herpetofauna dan 2 jenis mamalia. (Chrismiawati, 2016).
©Sulistyanto - BBKSDA NTT
Rabu, 20 November 2024. Telah dilaksankan pembukaa...
Tema Sosialisasi adalah "Ngobrolin Iklim Bare...
Labuan Bajo, Balai Besar KSDA NTT, Senin, 18 Novem...
Kupang (Kamis, 14 November 2024) – Balai Besar KSD...
Halo #KawanKonservasi (https://www.instagram.com/e...
Teripang merupakan salah satu komoditas unggulan N...
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK...
Balai Besar KSDA NTT bersama Balai TN Komodo dan...
Pada tanggal 20 September 2023 lalu Balai Besar ...
Pada tanggal 17 September 2023 lalu Kepala B...
KSDAE Mengajar merupakan program kependidikan ya...
Jamur Tudung (Phallus multicolor) adalah jamu...
Senin, 29 Mei 2023, Kepala Balai Besar KSDA N...
Pada hari Selasa, tanggal 2 Mei 2023 petugas ...
Taman Wisata Alam Camplong terkenal dengan po...
Selama dua hari pada tanggal 4 – 5 November 2022, ...
Balai Besar KSDA NTT pada minggu pertama Bu...
Kupang, 17 September 2022. Hari Sabtu ini Balai Be...
Kupang, 26 Januari 2022. Selama dua hari sejak t...
Kupu-kupu Raja Timor atau Silver Bi...
Balai Besar KSDA NTT sebagai Korwil UPT KLHK ...
Kolam wisata Oenaek merupakan tempat wisata di K...
Pada tanggal 1-2 Februari 2023 kemarin telah di...
KSDAE Mengajar Begin! Pada 3 Februari 2023, ...
#KawanKonservasi (https://www.instagram.com/e...
Jumat, 20 Januari 2023. Kepala Balai Besar KSDA ...
Sepenggal kalimat tersebut keluar dari Ibu Myra...
Kupang, 12 Oktober 2020 Rasa syukur melingkupi ...
Kupang, 29 September 2020 Hai Kawan Konsevasi, ...
Menjelang hitungan hari, peringatan puncak Hari...
Kupang, 3 September 2020 Kamis nan mani...
Kupang, Rabu, 22 Juli 2020. Balai Besar K...
Fatumnasi, 19 Juli 2020 Pendekatan dengan...
Kupang, 28 Mei 2020 Pada hari Kamis tanggal ...
Kupang, 5 Juli 2020 Minggu, 14 Juni 2020, BBKSD...
Kupang, 19 Juni 2019. Balai Besar KSDA N...
Enoraen, 17 Juni 2020 Bertempat di Taman Wis...
Kupang, 5 Juni 2020. Hari ini, jam 10.00-...
Maumere, 4 Juni 2020 Saat ini kita tengah...
Kupang, 1 Juni 2020 Konflik satwa liar antara bua...
Kupang, 22 Mei 2020 Pagi tadi (Jumat, 22 ...
Kupang, 24 April 2020 Hari ini, Balai Bes...
Kupang, 18 April 2020 Sabtu pagi, 18 Apri...
Kupang, 3 April 2020 Balai Besar KSDA...
Sumba, 03 Februari 2020 Unit Penanganan Satwa (...
Penyerahan santunan dari BBKSDA NTT ke keluarga ...
Lembata, 31 Januari 2020 Ah, barangkali judul di ...
Kupang, 22 Januari 2020 Peta Rencana Kerja Res...
Kepala BBKSDA NTT (kiri) dan Gubernur NTT (tenga...
Maumere, 26 November 2019 Pendidikan koservasi ...
Kupang, 15 Oktober 2019 Pada Senin ...
Kupang, 16 Oktober 2019 Pada tanggal 15 Oktober...
Kupang, 1 November 2019 Menipo, “pulau” yang se...
Identifikasi dan Pengukuran Paus Pilot Maumere...
Penyambutan Kepala Balai Besar KSDA NTT Mala...
Atambua, Agustus 2019 Presiden Republik Indone...
Maumere, 19 Juli 2019. Dalam rangka menjaga...
Persiapan Pelepasliaran Komodo di Pulau Oentolo...
Sekda Provinsi NTT beserta rombongan dan Petuga...
Pelepasliaran Sanca Timor di Hutan Egon Ilemedo ...
Kepala BBKSDA NTT (Peci Hitam) Didampingi Pejaba...
Maumere, 30 Juni 2019 Pada hari Minggu tanggal ...
Kupang, 2 Juli 2019 Balai Besar KSDA NTT melalu...
Kupang, 1 Juli 2019 Balai Besar KSDA NTT mel...
Pict. Kepala BBKSDA NTT dan Direktur WCS-IP Kup...
Pada tanggal 25 Januari 2019 Balai Besar KSDA NT...
Gubernur NTT dan Kepala BBKSDA NTT Senin, 4 Mar...
Dalam rangka Pencapaian Target Indikator Kinerj...
Penetapan kawasan Cagar Alam (CA) Mutis Timau p...
Balai Besar KSDA Nusa Tenggara Timur diberi ama...
Torong Padang, suatu tanjung di Utara Pulau Flo...
Ekosistem blue carbon adalah ekosistem diman...
Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Nusa Te...
Balai Besar KSDA NTT kedatangan seoran...
Bushcraft adalah berkegiatan di alam bebas yang...
Pada sore hari di medio bulan Desembe...
Selama ini, kita mengenal Cagar Alam (CA) Mut...
Hasil diagnostic reading permasalahan pada Ba...
Perambahan kawasan dan illegal logging TWA Ruteng ...
Konsep Perlindungan Hutan Berbasis Ekosistem P...
Kupang, 7 Desember 2018 Wilayah kerja Balai Bes...
Taman Wisata Alam (TWA) Tujuh Belas Pulau merup...
Kupang, 05/12/2018-Rekreasi, atau dulu kita bia...
Kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan ya...
Step on Flores land, it’s not only about the Kom...
Memandang deburan ombak pantai selatan yang meng...
TWAL Teluk Maumere juga dikenal dengan nama Gugu...
Eksotis, kata yang mewakili Taman Wisata Alam La...
Pameran konservasi dilaksanakan dengan tujuan un...
Telah menjadi kesadaran bersama bahwa kele...
Kupang, 7 Desember 2018 Wilayah kerja Balai Besar...
“Awas tangannya.....” “Awas jarinya....” Kupang,...
Kupang, 26 November 2018 Balai Besar KSDA NTT mer...
Perkembangan Konservasi Penyu di TWA Menipopada...
Camplong, 14 November 2018 Pada hari Kamis, tangg...
Maumere, 09 November 2018 Seksi Konservasi Wila...
Kupang, 2 November 2018 Pada tanggal 31 Oktobe...
Maumere, 19 Oktober 2018. Balai Besar KSDA NTT m...
Kupang, 19 Oktober 2018. Dalam upaya mitigasi pe...
Soe, 27 September 2018 Sebagai Unit Pelaksana Tek...
Maubesi, 17 September 2018 Pada tanggal 6 Septe...
BBKSDA NTT, 13 September 2018 Dalam pengelolaan T...
BBKSDA NTT, 13 September 2018 Balai Besar KS...
BBKSDA NTT, 13 September 2018 Latar Belakang Tam...
Riung, 12 September 2018 Taman Wisata Alam Laut (...
Alor, 10 September 2018 Pada hari Senin, tangg...
Maumere, 31 Agustus 2018 Balai Besar Konservasi...
Maumere, 31 Agustus 2018 Sebagai tindak lanj...
Maumere, 28 Juni 2018 Balai Besar KSDA (BBKSDA) N...
Monitoring Penangkaran Ex-Situ Rusa Timor di Kota ...
Bari, 22 Juli 2018 Sehubungan dengan adanya inf...
Kupang, 2 Maret 2018. Sebanyak enam lembar kulit ...
Camplong, 21 Februari 2018 “Ayo bergerak bersama”...
Kupang, 16 Desember 2017. Balai Besar KSDA Nusa T...
Kupang, 28 September 2017 Dalam rangka Optimalisa...
Borong, 27 September 2017 Bertempat di Aula Dina...
Kupang, 18 September 2017 Pada hari Senin tanggal...
Kupang, 6 september 2017 BBKSDA NTT melaksanak...
Kupang, 28 Agustus 2017. Bertempat di Kantor Bala...
Kupang, 13 Agustus 2017 Gubernur NTT, Drs. Frans ...
Kupang, 13 Agustus 2017 Jelajah Sepeda Kompas 201...
Kupang, 10 Agustus 2017 Melalui Keppres Nomor 22 ...
Kupang, 4 Agustus 2017 Buaya memiliki sifat 'homi...
Kupang, Februari 2017. Hanya dalam kurun waktu ...
Kupang, 9 Mei 2017. Menindaklanjuti laporan dar...